Senin, 13 Mei 2013

Tulisan_19 Teori Organisasi Umum 2


Nasihat Karir dari Warren Buffet

PLASADANA.COM - Siapa tak kenal Warren Buffet? Investor berusia 82 tahun ini adalah orang terkaya di dunia versi majalah Forbes dengan nilai aset US$ 53,5 miliar. Sebagai seorang kepala eksekutif (CEO), Buffet mendapat gaji US$ 100 ribu per tahun.
Dengan pencapaian tersebut, Buffet tentu banyak makan asam garam dalam menjalani karir dan mengelola perusahaan. Dia pun tentu mengetahui cara paling optimal untuk memanfaatkan potensi setiap bawahannya. Sebagai seorang eksekutif, Buffet pasti memiliki ekspektasi tertentu terhadap karyawannya.
Saat berbicara sebagai mentor dalam acara Office Hours Session with Levo League, Buffet membagi tips dan pengalaman personal tentang cara meniti karir. Pemilik firma investasi Berkshire Hathaway ini membagi beberapa kiat. Berikut diantaranya.
1. Temukan gairah dan minat Anda
Buffet mengatakan seorang profesional harus bisa menemukan karir yang pas untuk dirinya. Terkadang, hal ini mengesampingkan gaji atau kompensasi yang bakal diterima. Namun hal tersebut bisa terbayar jika seseorang menghasilkan produk berkualitas, karena memiliki minat yang besar untuk menciptakannya.
2. Berkomunikasi secara efektif
Buffet mengaku pernah minder dan trauma saat harus berbicara di depan umum. Hal ini terjadi bahkan ketika dia sudah menyabet gelar MBA! Namun Buffet tak berkecil hati dan mengambil kursus public speaking sehingga kekurangan ini bisa diatasi. "Caranya sederhana, berkomunikasilah secara efektif."
3. Memahami perilaku orang lain
Seorang profesional dituntut untuk bisa memahami perilaku dan sikap orang lain, baik itu bos, klien maupun rekan sekerja. Dengan demikian orientasi kinerja seorang profesional akan lebih terarah.
4. Belajar untuk mengatakan tidak
Hal ini berlaku untuk perbuatan yang tidak baik dan menyia-nyiakan waktu. Katakan tidak untuk hal mengganggu produktifitas.
5. Jangan bekerja dalam lingkungan yang tidak adil
Seseorang hanya bisa bersikap profesional jika berada di lingkungan kerja yang profesional. Termasuk dalam hal tunjangan, gaji dan kompensasi lainnya. Buffet pun menyarankan setiap profesional untuk memilih tempat kerja yang bisa menampung minat, bakat serta memberi imbal balik yang sepadan.

Jumat, 03 Mei 2013

Tulisan 18_Teori Organisasi Umum 2


DECENT WORK COUNTRY PROGRAM


DECENT WORK COUNTRY PROGRAM (DWCP) Sun Way Hotels, Pnom Penh 4-10 September 2011.
Program Decent work adalah suatu program di mana terus ditingkatkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1999 pemerintah Indonesia mempromosikan decent work dan telah memberikan laporan dalam ILC. Dan melakukan beberapa study tentang decent work pada tahun 2007.
Agenda decent work yang dipromosikan ILO pada tingkat internasional adalah :
1.Penciptaan lapangan pekerjaan (Job creation)
2.Jaminan perlindungan hak bekerja (Guaranteing right works)
3.Memperluas jaminan sosial (Extending social protection )
4.Promotion promoting social dialog (Social Dialog Promotion)
KSBSI sebagai wadah perjuangan buruh turut serta dalam program kampanye dan implementasi decent work, diantarnya promosi social dialog dalam program pendidikan KSBSI yang pelaksanaannya sudah sejak tahun 2010. Dalam konteks jaminan sosial, KSBSI sangat aktif dalam menyikapi perkembangan implementasi UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistim Jaminn sosial Nasional (SJSN) yang direalisasikan dalam pembahasan RUU BPJS. Demikian presentasi sdri. Emma Liliefna (Humas KSBSI) dalam training DCWP di Pnom Penh (Cambodia) pada 4-10 September 2011.
Issu gender tidak ketinggalan dalam jalannya training tersebut. disampaikan bahwa ILO internasional juga mengkampanyekan perspektif gender dalam DWCP. Yang disebutkan dibawah ini :
1.Promosi persamaan hak antar laki laki dan perempuan di tempat kerja, yakni mengkampanyekan 4 ILO labour standard : konvensi ILO NO 100 (1951) tentang upah. Konvensi ILO NO 111 (1958) tentang diskriminasi pekerjaan dan jabatan ditempat kerja. Konvensi ILO NO 156 (1981) pekerjaan dan tanggungjawab keluarga. Konvensi ILO 183 (2000) Maternity Protection.
2.Penelitian dan penyebaran informasi dan issu tentang kepedulian persamaan gender. Termasuk perluasan issu tentang anak dan buruh anak, pekerja laki laki dan perempuan dalam sektor informal ekonomi, kepemudaan, jaminan sosial , HIV dan migrasi.
3.Memberikan panduan tentang pengarusutamaan gender sebagai bahan perubahan kebijaksanaan, legislasi, program di lembaga masing masing.
4.Memfasilitasi dan mensupport pelaksanaan DWCP pada masing-masing negara. 

Tulisan 17_Teori Organisasi Umum 2


Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK


A. Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Belakangan ini outsourcing menjadi salah satu kosa kata yang populer. Sebenarnya, praktik outsourcing sudah berlangsung sebelum pemerintah mengundangkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Praktik outsourcing sangat mudah kita temukan terutama pada sektor pertambangan minyak dan gas bumi (migas).
 
 
Sebelum UU Ketenagakerjaan berlaku sebagai hukum positif, UU bidang perburuhan tidak mengatur sistem outsourcing. Pengaturan tentang outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 5 Tahun 1995 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 2 Tahun 1993. Melihat subtansi Bab IX UU Ketenagakerjaan khususnya mengenai PKWT, pembentuk undang-undang mengadopsi isi dari dua Permenaker di atas.
Dalam perkembangannya, lantaran dianggap tak memberikan jaminan kepastian bekerja, tak lama setelah UU Ketenagakerjaan diberlakukan, sebanyak 37 serikat pekerja/serikat buruh mengajukan perlawanan ataslegalisasi sistem outsourcing dan PKWT ini. Caranya dengan mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana teregistrasi dengan permohonan No 12/PUU-I/2003.
 
Ada beberapa pasal yang diuji, termasuk Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang mengatur soal outsourcing. Saat itu, MK menolak permohonan atas ketiga ketentuan tersebut. Salah satu pertimbangan dalam putusan No 12/PUU-I/2003 mengatakan, sistem outsourcing tidak merupakan modern slavery dalam proses produksi.
 
Upaya buruh melawan sistem outsourcing dan kerja kontrak seakan tidak pernah berhenti. Buktinya, tuntutan untuk menghapus sistem outsourcing dan buruh kontrak kembali memasuki gedung MK.
 
Dalam register permohonan No 27/PUU-IX/2011 tercatat Didik Supriadi mewakili Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI) mengajukan judicial review terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.
Lembaga pengawal konstitusi itu mengabulkan permohonan Didik Supriadi untuk sebagian dan menolak permohonan atas Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. Secara eksplisit MK menyatakan kedua ketentuan itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Serikat pekerja/serikat buruh menyambut putusan MK itu dengan argumen tak senada. Ada yang gembira dan ada yang mencibir. Kelompok yang gembira berasumsi bahwa MK telah menyatakan outsourcing dan PKWT sebagai praktik illegal. Asumsi lain menyimpulkan, MK telah menghapus sistem outsourcing dan PKWT. Yang mencibir berkata, putusan MK melegalisasi dan mengkonstitusionalkan sistem outsourcing dan PKWT.
Sambutan pekerja/buruh atas putusan MK itu sudah pasti berbeda dengan pemerintah. Itu konsekuensi dari psikologi politik. Bagaimanapun, substansi undang-undang yang dikabulkan oleh MK itu merupakan karya perjuangan pemerintah di gedung DPR. Pertimbangan MK mengatakan Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) membuktikan bahwa isi UU Ketenagakerjaan semakin banyak yang bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK seperti itu cukup sebagai argumen menuduh DPR dan pemerintah telah mengabaikan konstitusi saat menyusun materi undang-undang.
Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 ini juga memberi efek kejut yang lebih dasyat bila dibandingkan putusan MK lainnya di bidang Ketenagakerjaan. Ada yang mengatakan, dasar hukum outsourcing tidak sah pasca putusan MK. Bahkan, PKWT yang sudah ditandatangani sebelum putusan MK oleh sebagian kalangan dinilai telah bertentangan dengan putusan MK.
Untuk menjawab hal itu Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Surat Edaran (SE) No. B.31/PHIJSK/I/2012 tanggal 20 Januari 2012. Butir akhir dari SE itu menguraikan sikap Kemenakertrans berkaitan dengan efektivitas waktu berlakunya putusan MK. Yaitu, PKWT yang sudah ada sebelum putusan MK tetap berlaku sampai berakhir waktu yang diperjanjikan.
Untuk menyelaraskan pemahaman tentang eksistensi dan peluang praktik outsourcing dan PKWT, kita perlu menelaah secara cermat amar dan pertimbangan putusan MK dimaksud. Di dalam pertimbangan hukum, MK menawarkan dua model pelaksananaan outsourcing.
Model pertama, outsourcing dilakukan dengan menerapkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) secara tertulis. Model ini bukan hal baru sebab Pasal 65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah mengaturnya secara opsional. Model kedua, lanjut MK, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
 
Bagian utama dari amar putusan MK menyatakan “frasa perjanjian kerja waktu tertentu dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.” Kata sepanjang dan seterusnya dalam amar di atas berlaku sebagai syarat bila pengusaha menggunakan sistem PKWT.
 
Berikut adalah beberapa catatan terkait dengan amar dan pertimbangan hukum MK di atas: a. MK menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, ketentuan selain ayat (7) pada Pasal 65 dan ayat (2) huruf (b) pada Pasal 66 tetap berlaku sebagai hukum positif.